Rabu, 01 Juli 2009

Kekuasaan, Pembagian, dan Alokasinya

Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Kekuasaan dapat dilihat dari 2 sudut pandang yaitu keuasaan bersifat positif dan negatif.

1. Kekuasaan bersifat positif
merupakan Kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.

2. Kekuasaan bersifat Negatif Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri terkadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya.

Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun tahun. Untuk sekedar ilustrasi ada baiknya dibaca Kisah Naga Baru.


PEMBAGIAN KEKUASAAN

Pembagian kekuasaan dalam suatu negara, yaitu diletakkan secara vertikal dan horisontal. Kekuasaan secara vertikal adalah pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, antara beberapa tingkat pemerintahan. Pembagian vertikal ini bila meminjam istilah Carl J. Friedrich merupakan pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power).

Konsepsi kekuasaan teritorial terpilah sebagai negara kesatuan, federal atau konfederasi. Seperti pembagian kekuasaan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam negara persatuan, antara pemerintahan federal dan pemerintah negara bagian dalam federal. Tetapi di banyak kasus pilihan terhadap negara dengan sifat kesatuan atau federalis adalah pilihan integrasi dari golongan-golongan dalam suatu wilayah. Namun persoalan sifat kesatuan atau federal dari suatu negara terkait persoalan pada bentuk negara dan persoalan negara bersusun (samengestelde Staten atau Statenverbindungen), yang oleh Hans Kelsen sebagai form of organization untuk kesemua negara, baik konfederasi, federasi atau kesatuan yang terdesentralistis.

Pada konfederasi terdiri beberapa negara berdaulat penuh secara ekstern atau intern, bersatu atas dasar perjanjian intenarsional yang diakui dengan menyelenggarakan alat perlengkapan tersendiri dan mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi tidak mengikat terhadap warga negara masing-masing anggota (lihat Edward M. Said, Political Institutions). Di sini keanggotaan negara tidak menghilangkan atau pun mengurangi kedaulatannya sebagai anggota konfederasi, sebab kelangsungan konfederasi berdasar keinginan dan kesukarelaan negara peserta. Konfederasi umumnya dibentuk untuk maksud tertentu umumnya bidang politik luar negeri dan pertahanan bersama.

Sedang bagi negara kesatuan, merupakan bentuk negara dimana wewenang legislatif dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak di pemerintahan daerah. Sementara kekuasaan daerah diposisikan dari kewenangan pusat berdasarkan hak otonomi. Artinya seluruh kedaulatannya keluar atau ke dalam sepenuhnya menjadi wewenang pemerintahan pusat, hal mendasar adalah kedaulatan pada negara kesatuan tidak terbagi dan bersifat satu. Adapun dua ciri negara kesatuan adalah pertama supremasi dewan perwakilan rakyat pusat dan kedua tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Bentuk negara kesatuan memang merupakan negara dengan ikatan serta integrasi yang kokoh dibandingkan yang lain.

Berbeda dengan negara kesatuan, pada Negara federalisme agak sukar untuk dirumuskan, mengingat keberadaannya merupakan paduan dari bentuk kesatuan serta konfederasi. Negara federasi mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya atau kedaulatan negara-negara bagian. Sedangkan penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara bagian diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah federal dan kedaulatan ke dalam dibatasi.

Dalam pilihan tersebut terdapat satu prinsip, yakni bahwa soal-soal yang menyangkut negara keseluruhan diserahkan kepada kekuasaan federal sebagai kepentingan nasional. seperti hal perjanjian internasional atau mencetak uang. Bila merujuk K.C. Wheare dalam Federal Government, prinsip pederal mengatakan bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintahan federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang tertentu bebas satu sama lain. Misal kebebasan pemerintah federal dalam soal hubungan luar negeri dan mencetak uang, sedang dalam soal kebudayaan, kesehatan, dan sebagainya adalah hak-hak kebebasan pemerintah negara bagian dari intervensi pemerintah federal.

Dari hal perbedaan federasi dan kesatuan setidaknya ada dua kriteria berdasar hukum positif pertama adalah suatu federasi memiliki pouvoir constituent, yaitu suatu wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas konstitusi federal. Dalam kesatuan, organisasi bagian-bagian negara (pemerintah daerah) selalu mengacu atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat.

Kedua,dalam negara federal wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur sesuatu telah terperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedang dalam negara kesatuan wewenang pembentukan undang-undang pusat ditentukan atau ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang yang rendah atau lokal, tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat.

Sisi lain, secara insitusi bahwa dalam negara federal wewenang legislatif terbagi dua bagian, yakni badan legislatif pusat atau federal dan legislatif negara-negara bagian. Adapun bagi kesatuan, wewenang legislatif berada pada pusat, sedang kekuasaan legislatif rendahan atau lokal didasarkan dalam bentuk undang-undang organik yang ditentukan oleh badan legislatif pusat. Pembagian di atas terjadi juga pada wewenang eksekutif dan administratif.

Sedang secara fungsi dikenal dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif sebagai fungsi kekuasaan yang melaksanakan undang-undang (rule application function), legislatif sebagai fungsi pembuat undang-undang (rule making function). dan yudikatif sebagai kekuasaan yang berfungsi mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Pembagian kekuasaan menurut fungsi ini dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan (division of power), sebagai pembagian kekuasaan horisontal .

Bersandar Trias politika tersebut dibangun prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada tidak diserahkan kepada satu orang, dengan tujuan mencegah penyalahgunaan atau sikap otoriterianisme dari pihak yang berkuasa, tentu dengan tujuan agar hak-hak warga negara menjadi lebih terjamin. Prinsip ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan juga ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers).

Hal terpenting bagi John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) merupakan kritik atas kekuasaan absolute dari raja-raja Struat (Inggris) serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang 1688 (The Glorious Revolution) yang dimenangkan oleh parlemen Inggris. Locke memang membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu legislative, eksekutif dan federatif, yang terpisah satu sama lainnya. Locke menyatukan kekuasaan eksekutif dan legislatif, sedang Kekuasaan federatif bagi Locke meliputi segala tindakan menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan hubungan luar negeri lainnya.

Montesqueieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke disamping melihat ada despotisme raja-raja Bourbon (Perancis) dalam LEsprit des Lois (The Spirit of the Laws) 1748. Dia berkeinginan agar suatu sistem pemerintahan dapat menjamin keberadaan hak-hak dasar warga negara.

Montesquieu memang lebih menekankan kebebasan badan yudikatif, karena menurutnya di yudikatiflah kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Perkembangannya, prinsip dari pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam perkembangan sejarah politik Amerika diperkuat lagi oleh Checks and Balances, sebagai pengawasan dan keseimbangan agar masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas wewenangnya. Seperti wewenang Presiden Amerika memveto rancangan undang-undang yang diterima kongres, sementara di sisi lain veto dapat dibatalkan kongres dengan dukungan 2/3 suara dari kedua majelis. Sedang check pada Mahkamah Agung adalah terhadap eksekutif dan legislative melalui judicial review (hak uji UU), pada hal lain keberadaan hakim agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat dihentikan oleh kongres jika terbukti melakukan tindakan kriminal. Termasuk Juga keberadaan Presiden dapat di impeach oleh kongres, tentu saja dengan proses validitas sebab musababnya dengan tetap mengacu pada kepentingan negara.

Dalam konteks Indonesia dari semua hal diatas, para Begawan kemerdekaan memang telah meletakan sistem kekuasaan dalam kebutuhan lokus Indonesia dengan segala kearifan ideologi dan nilai-nilai yang mendasari tentang ke-Indonesia-annya. Seperti pada pilihan kekuasaan yang dimaknai dengan musyawarah mufakat atau permusyawaratan perwakilan yang dipahami sebagai negara kekeluargaan bukan pilihan demokratisasi ala Barat yang saat ini berlangsung. Juga sikap menjadi Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik dan tidak monarki Donstitusional seperti Inggris.

Kehati-hatian bersikap pada bentuk dan karakteristik kekuasaan Indonesia memang terpahami upaya menghindari pertentangan politik antar kelompok serta konflik-konflik yang dilatari feodalisme atau politik kedaerahan. Hal itu pula yang tercermati dan menjadi pertimbangan mendasar atas pilihan tersusunnya UUD 1945 ketika itu, yang ke semua diharapkan terakomodasi sebagai satu kesatuan tanpa harus mengorbankan siapapun. mungkin tidak akan ada tragedi kekuasaan Abdul Aziz Angkat.

Walaupun dalam sistem kekuasaan atau pemerintahan Negara hukum berciri kekeluargaan yang direka the founding fathers memang perlu dicermati dan ditegaskan peraturannya agar nepotisme dan kekerabatan tidak membentuk peodalisme dan kolusif, yang lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Sehingga pilihan kekuasaan tetap di koridor yang mengedepankan prinsip keadilan, transparansi informasi dan keterbukaan akses, prinsip persamaan atau kesetaraan warga terhadap perlakuan rejim kekuasaan. Kesemua, tentu saja dalam paradigma demokratisasi bahkan bila perlu dalam sistem kekuasaan ala Indonesia.


Alokasi sumber daya dalam diperbesar oleh dewan pemerintah

Dengan pembesaran dari Uni Eropa memiliki beberapa konsekuensi untuk euro euro dan lembaga daerah.

Dalam terakhir saya log saya bahwa Sideek M. Seyad, Associate Professor Eropa Keuangan Hukum Universitas Stockholm di Fakultas Hukum, telah menerbitkan dua bagian pada kertas "Legal Consequences dari Uni Eropa untuk pembesaran Euro".

Hari ini saya ingin menginformasikan tentang karya tentang "alokasi kekuasaan dalam dewan pemerintah diperbesar: sebuah Assesment dari ECB Rotation Model", oleh Ansgar Belke (University of Hohenheim) dan Barbara Styczynska (Universitas Fribourg) dalam Jurnal of Common Market Studies (Volume 44, No 5, pp. 865-97).

Model Rotation yang diletakkan di bawah Pasal 10,2 ESCB Statutes, yang telah diubah sesuai dengan Pasal 10,6 ESCB Statuta. Yang terakhir, yang disebut ayat memungkinkan diperkenalkan oleh Pasal 5 dari Nice Treaty.

Voting sistem yang baru adalah dua tingkat perputaran model, dimana NCB gubernur dialokasikan ke berbagai kelompok, setiap kelompok tertentu yang memiliki jumlah hak voting. Pada tahap transisi - ketika jumlah NCBs di kawasan euro adalah antara 16 dan 21 - ada dua kelompok. Adapun dari tanggal di mana jumlah gubernur mencapai 22, hak voting yang akan dialokasikan untuk tiga kelompok. Sebagai konsekuensi dari rotasi skema yang voting frekuensi dari gubernur akan sangat bervariasi.

Belke/Styczynska menyimpulkan bahwa negatif satu fitur yang diusulkan voting reformasi yang tajam regu dari alokasi kekuasaan selama awal euro area accession tahapan. Selain itu, mereka menyimpulkan bahwa negara-negara terutama acceding kehilangan pengaruh pada voting hasil voting dibandingkan dengan daya di bawah status quo.

Satu keuntungan, bagaimanapun, jadi Belke/Styczynska menyimpulkan, adalah lebih tinggi derajat perwakilan yang akan memerlukan reformasi. Hasil yang lebih penting, menurut penulis, adalah bahwa voting kekuasaan Dewan Eksekutif akan sangat kuat melalui reformasi. Di bawah "cukup realistis dugaan bahwa Dewan Eksekutif mewakili kepentingan daerah di euro, hasil ini cenderung datang sebagai manfaat".
Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia di 22:26 0 komentar
Lingkungan, Sistem Politik, dan Kebijakan Publik
lingkungan politik

Sebetulnya masih sangat prematur, akin tetapi sudah mulai menjadi tarohan yang populer. Akan tetapi, skenario atau konfigurasi yang bisa dilontarkan dewasa ini tidak akan lepas dari sentimen-sentimen politik yang bisa dibaca pada waktu ini.

PDI-Perjuangan sudah bisa dipastikan menjadi partai politik terbesar di DPR dan MPR. Berdasarkan kenyataan ini maka Megawati mempunyai hak terbesar untuk dipilih menjadi presiden RI. Akan tetapi, sentimen yang ada di kalangan partai Islam, ataupun yang massanya sebagian besar dari organisasi Islam (seperti PKB) dewasa ini menunjukkan adanya keseganan untuk menerima seorang peremupuan sebagai pimpinan negara. Gus Dur pun, yang dekat pada Megawati dan mendukungnya secara politis, mungkin harus memperhitungkan sentimen dari sebagian pengikutnya yang nanti menjadi anggota DPR/MPR. Maka dewasa ini kemungkinan Megawati menjadi presiden tampaknya tidak besar. Kecuali kalau massa PDI-P di Jawa dan Bali “berontak” dan turun ke jalan secara massal, yang kiranya tidak akan terjadi.

Di lain fihak, Golkar cepat atau lambat juga akan sadar bahwa mempertarohkan Habibie sebagai calon tunggal untuk jabatan presiden RI tidak bisa sebagai harga mati. Hasil pemilu terang menandakan bahwa Golkar dengan (pemerintah) Habibienya ditolak secara mentah-mentahan oleh penduduk di Jawa dan Bali. Jawa merupakan the heartland of the Republic (daerah jantung dari Republik). Kalau pemerintah baru nanti, oleh sebab dagang sapi serta money poltics di MPR, sampai menjadi pemerintah Habibie lagi, maka pasti tidak bisa bekerja lancar karena, pertama, setiap kali akan diganjel oleh “oposisi” di DPR, kedua, LSM dan gerakan-gerakan rakyat lain akan sering memenuhi jalanan di Jakarta. Citra pemerintahan menjadi labil, yang tak akan untungkan kebangkitan kembali ekonomi.

Bagaimana kalau Golkar ganti siasat politik dan menawarkan calon lain yang namanya masih bersih? Paling tidak akan mendapat sambutan lebih baik. Karena cara dan prosedur pemilihan presiden di MPR pada waktu ini belum diketahui, misalnya per fraksi, secara perorangan, dan perorangan secara terbuka (misalnya yang setuju berdiri) atau secara rahasia, maka kemungkinan peran dagang sapi serta money politics masih besar. Pemungutan suara secara perorangan dan secara rahasia memudahkan money politics, karena kalau seorang anggota DPR memilih Habibie oleh karena dijanjikan imbalan uang jumlah besar, maka ini tidak bisa diketahui oleh umum, Akan tetapi, sipemberi uang suap juga tidak bisa mengecheck.

Sementara itu, bisa dipastikan bahwa pengaruh Golkar di MPR akan jauh melebihi besar raihan suara di pemilu, oleh karena partai ini unggul di Indonesia bagian Timur dan di beberapa provinsi di Kalimantan dan Sumatra, yang memerlukan jumlah suara yang lebih kecil untuk menduduki satu kursi di DPR dan DPRD.

Bisa dilontarkan kesimpulan bahwa “Indonesia merupakan negara yang politik terpecah (divided)” karena Golkar, yang dipandang partai “status quo reformasi” unggul di luar Jawa dan Bali, sedangkan partai PDI-P dan partai baru yang menyebut diri “pro-reformasi” unggul di Jawa dan Bali. Mudah-mudahan “kepecahan” ini tidak untuk selama-lamanya, akan tetapi akan memberi warna kepada politik praktis selama lima tahun mendatang.

Ada skenario ketiga yang mungkin bisa lebih memenuhi kepentingan nasional, yakni presiden yang akan datang bukan Megawati dan bukan Habibie, melainkan figur baru yang serba independen, dipercayai oleh kedua kubu besar, dan bisa diterima secara nasional. Tidak ada tokoh yang ideal dan sempurna pada waktu ini. Tetapi Sultan Yogya mendekati persyaratan demikian. Dulu beliau tokoh Golkar, akan tetapi sekarang kiranya bisa diterima oleh Megawati dan Gus Dur. Amien Rais sebagai tokoh nasional harus diperhitungkan pula, dan di atas kertas mungkin ia merupakan tokoh yang akan lebih kapabel ketimbang Sri Sultan. Akan tetapi, Amien Rais dan PAN-nya ternyata tidak mampu meraih jumlah suara yang mengesankan di pemilu ’99, bahkan dikalahkan oleh PPP. Amien Rais mungkin juga kurang acceptable untuk TNI ketimbang Sri Sultan Yogya. TNI akan menguasai sejumlah kursi di MPR yang bisa memegang kunci..

Kalau Sri Sultan menjadi presiden, dan ini hanya hypotetis saja, siapakah bisa menjadi wakil presidennya? Ini juga akan merupakan pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Tetapi, salah suatu pertimbangan harus mengacu kepada realita bahwa sentimen politik antara Jawa (dan Jakarta) di satu fihak, dan luar Jawa, khususnya Indonesia bagian Timur termasuk mungkin Kalimantan, sangat berbeda. Maka idealnya, wakil presiden bisa dipilih dari bagian Timur. Kalau tidak ada calon yang acceptable secara nasional, maka diambil dari Sumatra. Kalau dari Sumatra, cukup banyak, misalnya Akbar Tanjung atau Emil Salim. Dari Timur lebih langka. Misalnya bisa disebut Marwah Daud dan Jusuf Kala, kalau kedua ini sudah bisa dipandang tokoh nasional berkaliber. Kedua tokoh ini mempunyai citra yang baik. Seorang wakil presiden yang perempuan juga memenuhi aspirasi kaum perempuan yang nanti akan sangat kecewa melihat jumlah anggota DPR perempuan berkurang sekali. Lagipula, DPI-P dikenal tidak terlalu gender conscious, termasuk Megawati.

Ada pertanyaan lain yang mencuat dewasa ini, yakni berkaitan dengan policy ekonomi. Apakah para menteri ekonomi harus orang partai, atau (jauh) lebih baik orang profesional non-partai? Tradisi Golkar condong ke alternatip kedua. Akan tetapi di zaman yang lalu DPR tidak powerful. Di masa yang datang DPR akan jauh lebih berpengaruh. Lagipula, partai-partai yang mendukung pemerintah baru tidak akan mempunyai mayoritas yang besar. Memerintah akan menjadi sangat lebih sukar.

Kalau, misalnya Kwik Kian Gie atau Laksamana Sukardi, tidak menjadi menteri melainkan aktip di DPR, sedangkan para menteri hanya profesional non-partai, maka besar kemungkinan “sang sopir duduk di bangku belakang” sebagai backseat driver yang sering cerewet. Ini tidak akan menjamin pemerintah efektip. Andaikata Megawati tidak bisa menjadi presiden maka menteri-menteri PDI-P harus ada dan kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar