Rabu, 01 Juli 2009

MALPRAKTEK

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Malpraktek”. Dengan sebaik mungkin.

Mengingat terbatasnya waktu dan kemampuan yang kami miliki, maka kami menyadari tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun, sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini.

Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan Bpk. Sugeng Mashudi, S.Kep selaku dosen. Maka melalui kesempatan ini, perkenankan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada beliau.
Semoga Allah SWT semua bantuan dan keikhlasan beliau yang telah membantu kami dala


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.

Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.

RUMUSAN MASALAH
Apa itu malpraktek?
Apa asumsi masyarakat terhadap malpraktek?
Mengapa malratek justru banyak timbul pada zaman sekarang ini?
Apa saja unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek?
Bagaimana kasus-kasus malpraktek?
Apa hukum dari tindakan malpaktek?

TUJUAN
Mengetahui pengertian malpraktek.
Mengetahui asumsi masyarakat terhadap malpraktek.
Mengetahui penyebab timbulnya mal praktek pada zaman sekarang.
Mengetahui unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek.
Mengetahui kasus- kasus yang meliputi malpraktek.
Mengetahui hukum dari tindakan malpraktek.


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian malpraktek

Kelalaian ialah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan atau hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan, (Keeton, 1984). Sedangkan menurut Hanafiah dan Amir ( 1999 ) Kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu dengan sikap hati-hati tetapi tidak melakukannya dalam situasi tertentu. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan oleh seseorang dengan hati-hati, dalam keadaan tersebut itu merupakan suatu tindakan seseorang yang hati-hati dan wajar tidak akan melakukan didalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa orang lain dengan hati-hati yang wajar justru akan melakukan didalam keadaan yang sama.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa kelalaian dapat bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain tetapi akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya, namun jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut nyawa orang lain ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat, serius dan criminal menurut (Hanafiah dan Amir, 1999).

Istilah malpraktek bisa dibilang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Media informasi, baik cetak maupun elektronik,banyak sekali meliput masalah ini. Hal ini akan berdampak buruk terhadap eksistensi dunia kesehatan di Indonesia. Para tenaga medis dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggungjawab. Akan tetapi, yang namanya manusia suatu waktu dapat melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak disengaja. Hal inilah yang mengarah ke ruang lingkup malpraktek. Dari berbagai sumber yang kami baca, malpraktek adalah kelalaian tenaga medis untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien. Kelalaian yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati, melakukan tindakan kesehatan dibawah standar pelayanan medik. Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi, jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi,mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa dikatakan malpraktek. Jadi, dapat disimpulkan bahwa malpraktek adalah kelalaian dengan kategori berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar. Dari uraian di atas,bisa kita dapatkan indikasi-indikasi tenaga medis melakukan malpraktek, apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum, melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati, kurang menguasai iptek kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi. Yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik menurut ukuran tertentu yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalaman.


Asumsi masyarakat terhadap malpraktek

Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.

Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.

Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.

Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

Unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek

Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):
1.Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.

Contoh: :
Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:
a.Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan.
b.Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk mengubah kondisi klien.
c.Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.
2.Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Contoh:
a.Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti tingkat kesadaran pada saat masuk.
b.Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c.Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll)
3.Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.

Contoh:
Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan mengakibatkan fraktur.
4.Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.

Contoh: :
Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.


Kasus-kasus malpraktek

Pembicaraan tentang malpraktik medik bukan hal baru di Indonesia.Tercatat dalam sejarah dunia kedokteran di Indonesia tahun 1923 telah ada kasus pasien (Djamiun) yang meninggal dunia karena kelebihan dosis obat yang diberikan.Tetapi yang sangat menyita perhatian publik adalah kasus seorang dokter perempuan yang bekerja disalah satu Puskesmas di Pati Jawa Tengah yang diduga telah melakukan malpraktek sehingga menyebabkan pasien yang ditanganinya meninggal dunia. Pada Pengadilan Negeri Pati, Dr. Setyaningrum dianggap bersalah, didakwa dengan pasal 359 KUHP. Putusan PN Pati kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Tapi pada kasasi, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kedua putusan pengadilan judex factie tersebut dan membebaskan dokter tersebut.

Sejak itu ada saja kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan media. Tetapi perbincangan tentang persoalan ini mengalami pasang surut seirama dengan banyaknya kasus yang terjadi dan menjadi polemik dalam masyarakat. Ketika tidak banyak media massa memblow up malpraktik di masyarakat, perdebatan soal ini pun terkesan tidak antusias lagi, padahal dari hari ke hari masalah ini perlu perhatian karena berkaitan lintas disiplin ilmu, yaitu kedokteran dan hukum. Apalagi mengingat teknologi kedokteran serta penyakit yang ada semakin kompleks.

Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan.

Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan kesehatannya karena ia percaya atau yakin pada kemampuan dokter tersebut melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat pemasangan plang nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian reputasi dokter sehingga menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.

Istilah malpraktik medik awalnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum kita. Tidak ada peraturan perundangan yang secara khusus menyebut masalah malpraktik ini. Hal ini wajar mengingat istilah ini berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, meskipun sebenarnya ada beberapa peraturan hukum seperti KUHPerdata (perbuatan wanprestasi/pasal 1243 BW dan Perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365BW) serta beberapa pasal konvensional dalam KUHP (seperti pasal 359,360 dan 344) yang meskipun tidak secara ekspilisit menyebut ketentuan tentang malpraktik namun dapat digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan perdata atau tuntutan pidana.

Dari sudut harfiah, istilah malpraktik atau malpractice atau malapraxis artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “unprofessional misconduct or unreasonable lack of skill. Jika memperhatikan pengertian diatas jelas perbuatan malpraktik bukan monopoli dari profesi medis (dokter). Ini berlaku juga bagi profesi hukum (misalnya advokat,hakim) atau perbankan (semisal akuntan). Jika dihubungkan dengan profesi medis barulah disebut malpraktik medik. Namun entah mengapa jika membicarakan istilah malpraktik ini selalu yang dimaksudkan adalah tindakan buruk yang dilakukan dokter.

Istilah malpraktik medik ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 yang menyatakan bahwa malapraxis is great misdemeanor and offence at common law, whether it be for curiousity or experiment or by neglect: because it breaks the trust which the party had place in his physician and tend to the patient’s destruction.

Sedangkan menurut M. Yusuf Hanafiah malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Pengertian yang dikemukakan oleh World Medical Association, menunjukkan bahwa malpraktik medik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct terntentu, tindakan kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompeten yang tidak beralasan.

Pandangan malpraktik medik (kedokteran) yang dikaitkan dengan factor tanpa wewenang atau tanpa kompetensi ini dapat dipahami jika dihubungkan dari sudut hukum administrasi. Kesalahan dokter karena tidak memiliki Surat Izin Praktek (Pasal 36 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) atau tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (pasal 29 ayat (1) lebih bersifat pelanggaran administrasi. Tetapi pelanggaran administrasi ini berpeluang menjadi tindak pidana karena dalam pasal lain dari UU 29/2004 itu menyebutkan sanksi pidana (dalam pasal 75 jo 76). Perbuatan pelanggaran dalam wilayah administrasi ini baru berpeluang menjadi malpraktik jika mengakibatkan kerugian fisik atau kehilangan nyawa pasien.

Sementara itu dari sudut hukum perdata malpraktik sangat berkaitan adanya pelanggaran kewajiban oleh tenaga medis. Tidak akan ada malpraktik jika tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada tenaga medis melalui hubungan yang sifatnya merupakan kontrak teurapeutik.

Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi kelakuan malpraktik medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus mengenai malpraktik medik tersebut. Dalam UU No.29/2004 juga tidak memuat pengertian malpraktik hanya memberi dasar hukum bagi korban (pasien) yang dirugikan untuk melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 66 ayat (1).


Aspek hukum malpratek

Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.

Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).

Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).

Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia
dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.

Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya.
Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.

Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.

Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.

Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.


Saran

Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi secara perdata.

Kontroversi Pengobatan Alternatif

Kontroversi Pengobatan Alternatif

Aborsi, antara sisi medis dan sisi moral

Sudah banyak artikel, buku, seminar yang mengulas panjang lebar mengenai aborsi, dua pendapat pro dan kontra tidak pernah ada habisnya dalam menyikapi aborsi. Mereka yang pro mengatakan : adalah hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan apakah ia akan meneruskan mengandung janinnya (dari hasil apapun; baik pernikahan resmi, hamil di luar pernikahan maupun korban perkosaan) dan mereka yang kontra berpendapat : adalah bukan hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan kehidupan janin yang dikandungnya, hanya Tuhan-lah yang berhak menentukannya.

Terlepas dari apapun alasan yang diajukan, entah itu demi kebaikan “si ibu muda” yang belum siap menjadi orangtua maupun karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membiayai kehidupan ‘sang anak’ kelak, aborsi tetaplah merupakan suatu pembunuhan terhadap suatu kehidupan manusia. Yang menjadi kontroversi adalah sejak usia kehamilan berapakah janin dalam kandungan layak disebut “memiliki” hidup sebagai suatu pribadi? Berbagai pandangan yang berusaha menyoroti kontroversi tersebut akan diutarakan lebih lanjut. Artikel ini akan mengulas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni pandangan secara medis dan secara moral.
Dalam dunia medis, abortus secara garis besar dibedakan menjadi dua macam, yakni abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus provokatus selanjutnya dibedakan menjadi abortus provokatus terapeutik dan abortus provokatus kriminalis.
Abortus spontan penyebabnya dapat karena faktor maternal (ibu) seperti infeksi, penyakit kronik yang melemahkan ibu, pengaruh hormonal ibu, kekurangan gizi pada ibu (malnutrisi), kelelahan fisik, trauma psikologis, kelainan rahim, kelainan sistem pertahanan (sistem imun). Selain faktor maternal, faktor janin sendiri berperanan, yakni janin yang mengalami kelainan kromosom, sehingga janin tak dapat tumbuh dengan baik dan akhirnya meninggal dalam kandungan. Pendek kata, abortus spontan terjadi diluar campur tangan manusia.

Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi karena campur tangan manusia, dibedakan menjadi dua yaitu terapeutik/elektif dan kriminalis. Abortus terapeutik dapat dilakukan dengan indikasi medis berikut:
1. Bila kelanjutan kehamilan dapat mengancam jiwa ibu atau menjadi gangguan yang serius bagi kesehatan ibu.
2. Bila kelanjutan kehamilan kemungkinan besar akan menghasilkan persalinan anak dengan cacat bawaan berat atau cacat mental.

Legalitas abortus provokatus terapeutik diatur dalam UU No 23/1992 tentang Kesehatan.
Abortus kriminalis merupakan tindakan pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis, yang lazim dikenal dengan sebutan aborsi/pengguguran. WHO memperkirakan per tahun terjadi sekitar 750.000 sampai 1,5 juta kasus abortus spontan maupun abortus provokatus. Namun jumlah ini bisa jauh lebih besar lagi mengingat kejadian abortus provokatus kriminalis yang tidak mungkin dilaporkan.

Abortus provokatus baik bertujuan terapeutik maupun abortus kriminalis tidaklah tanpa resiko yang sedikit kendati dilakukan oleh tenaga medis profesional sekalipun, seperti dokter spesialis kebidanan dan kandungan misalnya. Resiko akan menjadi semakin besar jika abortus, khususnya abortus kriminalis dilakukan bukan oleh tenaga medis profesional, seperti dilakukan oleh dukun ataupun dilakukan sendiri dengan cara-cara yang tidak aman seperti memasukan alat-alat tertentu ataupun zat kimia tertentu yang tidak steril dan bersifat racun ke dalam vagina.

Resiko dari tindakan abortus provokatus tidak hanya mencakup resiko jangka pendek melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang tersering adalah terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok septik akibat tindakan abortus yang tidak steril yang sering berakhir dengan kematian dan juga kegagalan ginjal sebagai penyerta syok ataupun yang ditimbulkan karena penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk menimbulkan abortus, seperti lisol, sabun, phisohex.

Resiko jangka panjang yang akan dihadapi oleh seseorang yang melakukan abortus provokatus adalah kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan abortus. Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan), abortus spontan pada kehamilan berikutnya, bayi berat badan lahir rendah sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium.

Seorang peneliti, Hogue (1986) memberikan banyak bukti bahwa dilatasi kuat pada leher rahim (cervix uteri) dengan prosedur apapun, pada usia kehamilan berapapun (baik trimester satu ataupun trimester kedua) akan meningkatkan resiko pada kehamilan berikutnya seperti yang telah disebutkan diatas. Adanya resiko placenta previa dan kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya berarti meningkatkan resiko terjadinya perdarahan yang hebat pula, seperti diketahui bahwa angka kematian ibu hamil di Indonesia terbanyak disebabkan karena perdarahan, sehingga melakukan abortus provokatus akan meningkatkan resiko kematian akibat perdarahan baik pada saat dilakukan abortus maupun kelak jika yang bersangkutan hamil kembali.
Bagaimana agama menyoroti soal aborsi ini? Dalam norma agama (mana pun) tindakan aborsi dilarang. Yang menjadi persoalan adalah adakah batas usia kehamilan tertentu dimana tindakan aborsi masih boleh dilakukan?

Menurut hukum Islam (fiqih), hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram. Namun hukum dasar tersebut dapat berubah apabila ada sebab-sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Dalam Islam sendiri ada beberapa pandangan mengenai sampai usia kehamilan berapa aborsi masih boleh dilakukan.

Dalam Islam ada yang memakai batas 120 hari usia kehamilan, setelah usia 120 hari sama sekali dilarang, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Batas 120 hari didasarkan pada hadis empat puluh, dimana Nabi Muhammad S.A.W memberitahukan dalam proses terciptanya manusia sel telur dan sel sperma tersimpan selama 40 hari dalam rahim sebagai nuthfah (mani), selama 40 hari berikutnya sebagai alaqah (segumpal darah), kemudian 40 hari berikutnya sebagai mudhghah (segumpal daging), setelah itu proses khalqan aakhar (pemberian nyawa) terjadi. Al Quran dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14 memberikan informasi yang serupa.

Menurut Mazhab Hanafi, aborsi sebelum kehamilan berusia 120 hari diizinkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Indikasinya antara lain kondisi kesehatan ibu sangat buruk, kehamilan dan persalinan beresiko tinggi, kehamilan yang terjadi saat perempuan masih menyusui bayi sementara ayah si bayi tidak mempunyai pendapatan yang tetap untuk membeli susu pengganti ASI. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut maka hukumnya jika melakukan aborsi menjadi makruh. Penganut mazhab Syafi’i terpecah tiga pendapat, sebagian seperti Ibn al-Imad dan al Ghazali melarang aborsi karena termasuk kejahatan terhadap makhluk hidup. Muhammad ibn Abi Said mengizinkan dalam batas 80 hari, alasannya karena janin masih dalam bentuk nuthfah dan alaqah. Dan yang lainnya lagi membolehkan aborsi secara mutlak sebelum kehamilan berusia 120 hari. Sebagian besar pengikut mazhab Maliki kecuali al Lakhim tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan membuang produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari. Alasannya, bila air mani telah tersimpan dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan. (Maria Ulfah Anshor;Kompas, 2 Juli 2001)

Dalam agama Kristen, khususnya Katolik, tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan. Kapankah kehidupan dinyatakan ada? Tidaklah mudah untuk menjawab persoalan ini, namun Gereja Katolik berpendapat semenjak terjadinya fertilisasi (pertemuan antara sel telur dan sel sperma) itulah kehidupan dimulai. Gereja Katolik menuntut supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat fertilisasi, justru karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulainya hidup pribadi manusia. Semenjak fertilisasi, zigot yang terbentuk dikatakan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang sudah lahir. Karena martabat itu,manusia mempunyai hak-hak asasi dan dapat mempunyai segala hak sipil dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan hidupnya menjadi lain. Sebelum lahir, dalam tingkatan janin apapun, ia tetaplah suatu individu yang unik, yang mewakili seluruh “kemanusiannya” dan oleh sebab itu patut dihargai martabatnya.

Sebab itu, moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi manusia dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah kelahiran. Hidup manusia adalah nilai paling fundamental, namun bukanlah nilai yang paling tinggi. Hidup manusia dapat dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi dan yang lebih mendesak. Maka, banyak ahli teologi moral Katolik yang berpendapat bahwa kalau seorang ibu yang tidak mungkin diselamatkan bila kehamilannya berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan oleh karena penyakit sang ibu juga tidak mampu hidup sendiri diluar kandungan, dalam konflik itu hidup ibu yang mesti berlangsung terus harus diselamatkan biarpun karenanya hidup anak tidak mungkin diselamatkan. Yang terpenting adalah kehidupan harus dipelihara, jika tidak mungkin memelihara kehidupan ibu dan anak, sekurang-kurangnya hidup satu (ibu)
terus berjalan.

Bayi yang diperkirakan mengalami kecacatan fisik ataupun mental yang berat yang diperkirakan tidak mungkin hidup sekalipun setelah dilahirkan, yang secara medis memenuhi indikasi untuk dilakukan abortus provokatus terapeutik tetaplah tidak diijinkan oleh Gereja Katolik untuk diaborsi, selama keberadaan bayi tersebut tidak membahayakan nyawa si ibu. Alasannya adalah Allah yang menciptakan kehidupan janin itu ,sehingga manusia tidak berkuasa sedikitpun atas hidup-matinya janin itu dan janin yang cacat pun tetap memiliki hak hidup yang sama dan memiliki martabat yang sama dengan janin yang tidak cacat.

Bagaimanakah dengan kehamilan di luar nikah yang dapat menjadi beban psikis bagi si ibu dan keluarganya? Gereja Katolik tetap berpendapat bahwa konflik semacam itu tidak dapat diselesaikan dengan pengguguran. Dalam hal ini harus dituntut sikap wajar dan manusiawi dari lingkungan. Kewajiban keluarga dan lingkungan membantunya memberikan bantuan sosial dan konseling bukan malah menghukumnya, meskipun tindakannya jelas salah.

Jelas disini bahwa Gereja Katolik sangat tegas melarang tindakan aborsi semenjak terjadinya fertilisasi atau pertemuan antara sel telur dan sel sperma, dan Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi (dikeluarkan sebagai anggota Gereja) pada setiap orang Katolik yang aktif terlibat dalam “mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil” (KHK kan. 1398)

Demikian kerasnya Gereja Katolik melarang setiap usaha “penghilangan” makhluk hidup semenjak terjadinya fertilisasi sehingga Gereja Katolik pun dengan tegas melarang setiap bentuk kontrasepsi yang dapat membunuh kehidupan yang telah terjadi dengan cara menghalangi proses nidasi (perlekatan janin pada rahim). Hal ini dikarenakan sebelum terjadi nidasi, sudah terlebih dahulu ada kehidupan, karena nidasi terjadi sekitar 5 hari setelah terbentuknnya zigot yang merupakan hasil peleburan sel telur dan sel sperma. Kontrasepsi yang diketahui dapat menghalangi nidasi janin pada dinding rahim adalah Alat Kontrasepsi dalam Rahim (spiral), dan alat KB hormonal seperti : pil KB, KB suntik, KB susuk. Dr. David Kingsley,MB,ChB,Cert NFP dari organisasi Respect Life, mengutarakan bahwa pil KB (dan juga alat kontrasepsi hormonal lainnya) bekerja bukan hanya sekedar menghambat ovulasi, namun lebih dari itu, pil tersebut bersifat abortifacient, artinya menggugurkan setiap kehidupan yang telah terjadi dengan cara menghambat terjadinya nidasi. Karenanya dari sisi moral, khususnya moral Katolik, penggunaan pil KB untuk tujuan kontrasepsi tidaklah dapat dibenarkan. Lebih lanjut Dr. David juga menyebutkan efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan pil KB seperti kanker payudara, kanker leher rahim, penyakit jantung koroner, stroke, trombosis pembuluh darah dan sebagainya.

Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa apapun alasannya, selain demi mempertahankan hidup ibu, aborsi tidaklah dapat dilakukan. Alasannya adalah ketidakpastian kapankah tepatnya kehidupan sebagai suatu pribadi itu dimulai, sehingga melindungi “kehidupan” seawal mungkin yakni semenjak terjadinya fertilisasi amatlah bijak. Melakukan aborsi dengan alasan untuk kebaikan “si ibu” yang belum siap menjadi orangtua tidaklah dapat dibenarkan , melenyapkan anak dalam kandungannya tidaklah serta merta menyelesaikan masalah dan juga tidak menjamin masa depan “si ibu” yang lebih baik, tapi justru dapat menimbulan masalah baru. Masalah tersebut bisa berupa beban psikologis karena terus-menerus dihantui rasa bersalah akibat membunuh bayi dalam kandungannya sendiri yang akan menyebabkan pasien menjadi terus merasa tertekan sehingga akhirnya menjadi depresi dan juga masalah yang berhubungan dengan resiko jangka panjang dari tindakan abortus provokatus seperti yang telah disebutkan di atas

Hubungan Perawat-Dokter

KOLABORASI PERAWAT-DOKTER
DALAM RUMAH SAKIT

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan rasa puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT , berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “KOLABORASI PERAWAT-DOKTER DALAM RUMAH SAKIT“ ini dapat terselesaikan.

Makalah Kolaborasi Perawat-Dokter dalam Rumah Sakit ini kami susun berdasarkan referensi data dari internet, buku,bahkan dari jurnalpun kami gunakan sebagai referensi. Makalah ini kami susun secara sistematis dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas Ilmu Sosial Politik semester 2.

Dalam penjelasan makalah ini, kami dapat bantuan dari beberapa pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Sugeng Mashud,S.Kep,NS di S1 Keperawatan semester 2 UM Surabaya
2. Teman-teman semester 2 serta semua pihak yang telah membantu kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini tentu masih ada kekurangan dan kelemahan.Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan agar makalah ini bisa menjadi acuan kedepan yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua khususnya mahasiswa dan mahasiswi UM_Surabaya, serta mendapatkan ridho Allah SWT. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya, juni 2009
Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sam yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian yang dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sam yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didenifisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision(1977) yang dikutip Siegler dan Whitney(2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.

Pada saat sekarang dihadapkan pada paradigma baru dalam pemberian pelayanan kesehatan yang menuntut peran perawat yang lebih sejajar untuk berkolaborasi dengan dokter. Pada kenyataannya profesi keperawatan masih kurang berkembang dibandingkan dengan profesi yang berdampingan erat dan sejalan yaitu profesi kedokteran. Kerjasam dan kolaborasi dengan dokter perlu pengetahuan, kemauan, dan keterampilan, maupun sikap yang professional mulai dari komunikasi, cara kerjasama dengan pasien, Maupin dengan mitra kerjanya, sampai pada keterampilan dalam mengambil keputusan.

Salah satu syarat yang paling penting dalam pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang bermutu. Suatau pelayanan dikatakan bermutu apabila memberikan kepuasan pada pasien. Kepuasan pada pasien dalam menerima pelayanan kesehatan mencakup beberapa dimensi. Salah satunya adalah dimensi kelancaran komunikasi antaran petugas kesehatan (termasuk dokter) dengan pasien. Hal ini berarti pelayanan kesehatan bukan hanya berorientasi pada pengobatan secara medis saja, melainkan juga berorientasi pada komunikasi karena pelayanan melalui komunikasi sangat penting dan berguna bagi pasien, serta sangat membantu pasien dalam proses penyembuhan.


I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kerjasama dokter dan perawat dapat mencapai tingkat kolaborasi yang baik?
2. Bagaimana hubungan perawat dengan dokter didalam praktiknya dapat meningkat dengan baik dengan komunikasi yang baik pula?
3. Apakah perawat perlu rangsangan dari lingkungan yaitu rangsangan melalui kerjasama atau kolaborasi dengan dokter?
4. Apakah ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi system kolaborasi?


I.3 Tujuan
1. Mengetahui tahap-tahap praktik kolaboarasi
2. Mengetahui hubungan antara komunikasi dan praktik kolaborasi
3. Perbedaan praktik kolaborasi di antara kelompok pasien


BAB II

II.1 TREND DAN ISSUE YANG TERJADI

Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien.Perspektif yang berbeda dalam memendang pasien,dalam prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendalap sikologi keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborsi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berlangsung pada hasil yang dialami pasien ( Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas huungan dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.

Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendkung dominasi dokter. Inti sesungghnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.
Dari hasil observasi penulis di Rumah Sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan Rumah Sakit yang kurang mendukung.
Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayang kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.


II.1.1 PEMAHAMAN KOLABORASI

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.

Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, “ Apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya “ pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya.Sudah dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang.Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika,pencatatan riwayat medis,pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien.Mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan-pasien.Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat,pekerja sosial atau profesional kesehatan lain.Sebagai praktisi memang mereka berbagi linkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega.

Dilain pihak seorang perawat akan berfikir,apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien menanganinya? ,bantuan apa yang dibutuhkannya? dan apa yang dapat diberikan kepada pasien Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan interfensi, melaksanakan rencana, mgevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.

Sejak awal perawat didik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakit dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja di unit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat,menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan shering pengetahuan yang direncanakan yang disengaja,dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh perturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekkan sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkonstribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.


II.1. 2 ANGGOTA TIM INTERDISIPLIN

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi: pasien,perawat,dokter,fisioterapi,pekerja sosial,ahli gizi,manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat menfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada siuasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagai membuat refelan pembarian pengobatan.

Kerjasam adlaha menghargai pendapat orang lain dan bersedia memeriksa beberapa alterntif pendapat dan perubaha pelayanan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsesus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsesus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa etiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggot tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yng dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalammenyelesaikan permaslahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktis profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan pada pasien. Kolegasilitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkanseseorang atau menghindari tanggung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan ari yang sama: mutualitas,dimana dia mengartikan sebagai sutu hubungan yang menfalitasi suatu proses dinamis antar orang-orang ditandai oleh keinginan maju mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adlah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindari dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi. Otonom akan ditekan dan koordinasi tidak kan terjadi.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team:
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik professional
2. Produktifitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
3. Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
4. Meningkatnya kohensifitas antar professional
5. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
6. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang lain
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerjasama kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi professional. Status yuridis seiring perubahan perwat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangt kompleks. Tanggung jawab hokum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktek medis, dan mal praktek keperwatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak yang terkait mengeni tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas sruktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan.

Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memunkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan professional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengatahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.


II.2 BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Subyek penelitian adalah 60 tenaga profesi yang terdiri dari 30 perawat dan 30 dokter sebagai responden, dan dilanjutkan observasi praktik kolaborasi dengan unit analis pasien (dengan 3 macam kelompok:10 pasien parah (40 x observasi, 10 pasien sedang (57 x observasi) dan 10 pasien mandiri (30 x observasi)).
Penelitian ini non-eksperimental degan rancangan cross sectional dengan unit analis interaksi perawat dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien. Metode pengumpulan data denga cara observasi dan kosioner diberikan kepada semua dokter dan perawat yang merawat di ruang VIP.

Variabel penelitian, yaitu variabel independen praktik kolaborasi, variabel komunkasi (11 sub variebel) dan domain. Variabel moderator, yaitu variabel karakteristik demografi dan variabel kebutuhan ekonomi individu. Data dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan tingka praktik kolaborasi, dan untuk melihat hubungan komunikasi dan praktik kolaborasi, domain dan praktik kolaborasi dengan menggunakan analisis korelasi spearman rank. Untuk melihat hubungan tersebut yang dimoderasi oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu menggunakan regresi multivariate dan untuk melihat seberapa perbedaan praktik kolaborasi diantar kelompok pasien dengan menggunakan uji bedah “t_test”.


II.2.1 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tingkat praktik kolaboarasi pada pasien yang tergantung penuh (parah) belum mencapai kolaborasi tetapi, pada tahap berunding dan banyak tahap menghindar terutama lulusan SPK dan dokter spesialis. Sedangkan pada pasien yang ketergantungan sebagian (sedang) rata-rata pada tahap berunding-berakomodasi (mendekati kolaborasi). Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan pengetahuan antara dokter dan perawat maupun kurangnya komitmen dokter untu ikut meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan dan mutu pelayanan keperawatan yang komprehensif (sesuai paradigma baru yaitu managed care).

Hasil observasi praktik kolaborasi menurut kelompk pasien: pasien parah dan menghindar 32%, berunding dan akan berunding 45%, pasien sedang dan menghindar 26%, serta berunding dan akan berunding 57,8%. Pada pasien yang mendiri dan menghindar 25%, berunding dan akan berunding 30%, dan berunding-berakomodasi 43%, dimana perawat berdiskusi dengan dokter pada pasien yang sudah mandiri untuk persiapan pulang, tetapi pada pasien parah kurang berdiskusi( hanya menerima pengarahan dan keputusan dari dokter). Sesuai standar akreditas rumah sakit, perawat dalam menyampaikan pasien pulang harus memberi penyuluhan dan membuat resum pemulangan pasien.

Hubungan komunikasi dalam pratik kolaborasi mempunyai nilai p<0,05 maka ada hubungan bermakna dan positif secara statisyik semakin baik. Komunikasi itu sendiri mempunyai 11 subvariabel dan mempunyai hubungan yang bermakna adalah menerima pengarahan atau perintah (p=0,045, r=0,324 atau p<0,05) dan memebri atau menerima keputusan (p=0,039 dan r=0,342 atau p<0,0) sehimgga semakin kurang berkolaborasi. Dan ditunjang oleh hasil observasi hubungan antara komunikasi dan praktik kolaborasi yang diuji dengan spearman rank mempunyai nilai r=0,679 dan p=0,023(p<0,05).

Hubungan komuikasi dan praktik kolaborasi yang dimoderasi atau dirancu oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu, nilai r=0,699 dan p=0,016 (p<0,05) maka ada hubungan yang bermakna. Karakteristikdemogarafi (jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan stauts kepegawaian) dan kebutuhan ekonomi individu berarti mempengaruhi komunikasi dan praktik kolaborasi. Perbedaan tingkat pendidikan itu mempengaruhi keberanian dan keberanian perawat dalam berdiskusi dan beragumentasi serta berkolaborasi dengan baik.

Luthans menyatakan bahwa komunikasi antara teman sejawat maupun komunikasi dalam hubungan kerja dala tingkat yang sama dalam sebuah organisasi dibutuhkan pemberian dorongan sosial untuk individu atau pribadi dari seseorang yang berkomunikasi. Hal tersebut sesuai pendapat Goossen, Epping, dan Abraham yaitu pemberian informasi dari displin profesi lain merupakan empiris dan proses informasi sebagai bahan untuk model membuat keputusan. Keputusan dokter dalam perawat dalam berkolaborasi mempunyai tujuan yang sama tetapi formulasinya yang berbeda. Chen juga menyatakan bahwa semua komponen dalam berkomunikasi dari hubunga kolaborasi.

Dokter lebih baik meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan pasien secara seksama karena sekarang tuntunan masyarakat kan pelayanan semakin meningkat dan dengan komunikasi yang baik akan memberikan kepuasan pasien dan menurunnya medical arror maupun nursing error. Dalam beberapa kurun waktu secara tradisional sikap dominan kerja sama (domain) anatar dokter-perawat tidak ditentang karena bersumber dari perbedaaan pendidikan dan pemberian gaji serta adanya perawatan pembantu atau asisten dokter.

Menurut Warelow, kekurangan dari penolakan serius dari beberapa bentuk yang demikian ditegakkan statusquo, akhirnya mereka lebih baik bekerja sama, dalam tindakan keputusan (domain) yang mana pada waktu tertentu (di beberapa waktu) dapat melakukan tindakan medis. Jadi domain antra perawat dan dokter belum dapat dipertegas tetapi masih tumpanh tindih dan belu ada kejelasan yang nyata.Dari hasil observasi banyak masalah yang belum diperhatikan oleh perawat maupun dokter. Perbedaan praktik kolaborasi diantar kelompok pasien yang ketergantungan mempunyai p=0,01 (p<0,05) yaitu ada perbedaan yang bermakna diantar pasien ketergantungan penuh, ketergantungan sebagian dan yang mandiri. Parah tidaknya pasien sangat mempengaruhui perawat dokter dalam berkolaborasi, karena keberadaan dokter berada disamping pasien cenderung hanya pagi saja dan kurang lebih hanya 5 menit, tetapi kalau pasien parah, perawat teleon saja atau kalau perlu baru datang.

Perawat berada disamping pasien selam 24jam sehingga perawatlah yang mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan untuk memberikan pelayanan yang baik dengan tim yang baik. Untuk memberikan pelayanan yang baik dan tim yang baik. Untuk memberikan pelayan yang prima (komrehensip=biopsiko-sosial)dan berorientasi pada customer maka sudah waktunya kolaborasi antara perawat-dokter perlu ditingkatkan. Kolaborasi dapata termasuk tim inter disiplin dan interaksi perawat-dokter dalam praktik. Dokter harus mengetahui bahwa mreka tergantung sistem dalam menentukan kebutuhan perawat kesehatan dari pasie-pasien mereka dan progaram perawatan kesehatan untuk perbaikan kualitas kesehatan.


BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Yidak ada kelompok yang dapat penyatakan lebih berkuasa di atas yang lainnya. Masing-masing profesi memilki profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, saling menerima, berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan menfalisitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkulitas. Akan tetapi praktik kolaborasi perawat dokter yang terjadi belum mencapai optimal tetapi masih tahap berunding dan masih ada yang menghindar yang disebabkan kurang siapnya sumber daya keperawatan dan masih adanya kesenjangan tingkat kependidikan perawat dan dokter serta kuarangnya komitmen dokter untuk ikut meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan.

1. Pada praktik kolaborasi mempunyai hubungan yaitu:Ada hubungan bermakna komunikasi dengan prakti kolaborasi. Dengan komunikasi yang baik dan menghargai profesi lain dalam pengambilan keputusan bersama (dalam kolaborasi) di kelompok maka akan tercipta suatu tim work yang baik sehingga komitmen dalam memberikan pelayanan yang komprehensip dapat tercipta.

2. Tidak ada hubungan antara domain dengan praktik kolaborasi dimana domain sangatlah bervariasi, baik pendapat dokter maupun perawat dan belum adanya standar domain bersama (dokter-perawat)yang baku di Indonesia.

3. Komunikasi dan praktik kolaboarasi hubungannya bermakna dengan dimoderasi oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu.

4. Hubungan domain dan praktik kolaborasi akan berhubungan sangat bermakna secara statistik setelah dimoderasi oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu.

5. Ada perbedaan yang bermakna kolaborasi di antara kelompok pasien yang parah, sedang, dan mandiri. Praktik kolaborasi pada tahap berunding banyak dilakukan pada pasien yang ketergantungan sebagian (sedang)karena pada pasien ketergantungan penuh (parah) dokter hanya memberi pengarahan dan keputusan tanpa meminta pendapat perawat.


III. 2 Saran

1. Untuk Pendidikn:Perlu adanya sosialisasi praktik kolaborasi dan managed care diantara tim kerja kesehatan atau profesi kesehatan mulai dari situasi pendidikan.

2. Untuk Rumah sakit: Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan kesehatan perlu adany peningkatan pendidikan perawat dan komunikasi yang baik ke pasien maupu antar tim kerja, dan untuk meningkatkan praktik kolaborasi perlu adanya komitmen bersama antara pemimpin (struktural) dan fungsional (profesi kesehatan), dimana pimpinan dapat mengadopsi managed care dan mensosialisasikan serta dapat diterapkan pada pelayan.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

• Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating foer Optimal Healt, Second Editions. Apleton and Ladge. Prenticehall. USA
• Capernito L.J., Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, (Alih bahasa): Tim Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran, EGC, Jakarata, 1998.
• Chen A.M., Wismer B.A, Lew R, Kang S.H., Mink K., Moskowitz J.M., and Togerration Involving Korean Americans of Preventive Medicine, 1997;13:6.
• Cox J. R.W., Mann L., and Samson D.,Benchmarking As a Mixed Metaphor;Disentangling Assumitions of Competition and Collaboration, Journal of Management Studies, 1997;34:2
• Dochterman, Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN, 2001 Current Issue in Nursing. 6th Editian Mosby Inc.USA
• Goosen W.T.F., Epping P.J.m.m., and Abraham, Classification System in Nursing:Formalizing Nursing Knowledge and Implication for Nursing Information System, Iternatinal Journal of Biomedical Computing, 1996;40:187-95
• Luthans F., Organization Behavior, Sixth Edition George Holmes Professor of Management University of Nebrasha, Tokyo, 1992.
• Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD,RN.,FAAN, alih bahasa Indraty Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter;Perawatan Orang Dewasa dan Lansia, EGC. Jakarta
• Warelow P.J., and Psych A.f., Nurse-Doctor Relationships in Multidisciplinary Teams: Ideal or Real, International Journal of Nursing Practice, 1996;2:117-23.
• www. Nursingword. 1998.:Collaboration and Independent Practice: Ongoing Issue for Nursing. Dikses pada tanggal 12 Maret 2007.
• www.Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi Mitra Dokter. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007
• www.pikiran-rakyat.com/cetak. 2002: Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007
• www.nursingworld. Sieckert. 2005 Nursing-Physician workplace Collaboration. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
• www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
• www.nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaborative Partnership. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007

Praktik Mandiri Keperawatan

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2009


KATA PENGANTAR

Puji syuukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat Iman & Islam kepada penulis sehingga karya tulis yang berjudul ” Praktik Keperawatan Mandiri ” dapat
diselesaikan dengan lancar dan sesuai rencana.

Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan penjelasan secara lengkap & pengetahuan tentang Praktik Keperawatan Mandiri.

Dalam penyelesaian karya ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu si penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membatu penulisan , yaitu:
1.Bpk. Sugeng Mashudi, Skep Ns, selaku dosen Ilmu Sospol dan Masalah Kesehatan
2.Teman- teman dari kelompok 2
3.Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini belum sempurna. Saran dari kritik dari pembaca sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini bermanfaat kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya perawat-perawat Indonesia.


Surabaya, April 2009
Kelompok 2


BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. (KepMenKes RI No.1239 Tahun 2001). Sebagai suatu profesi, perawat bertanggung jawab memberikan pelayanan perawatan sesuai dengan wewenang yang dimiliki secara mandiri atau berkolaborasi. Hal ini tersebut dimungkinkan karena perawat memiliki ilmu dan kiat keperawatan yang mendasari praktik profesionalnya. Tenaga keperawatan sekarang, tidaklah beda dengan seseorang bidan atau dokter, yang bisa membuka tempat praktik pelayan perawatan kesehatan. Dari beberapa hasil penelitian, bahwa di Indonesia keperawatan di rumah berkembang dengan pesat yang didukung oleh faktor ekonomi yaitu semakin tingginya biaya pelayanan di rumah sakit. Namun, sebenarnya perawat tidak diperbolehkan membuka praktik keperawatan mandiri karena peraturannya masih diatur dalam surat KepMenKes 1239 dan saat ini masih berupa RUU yang belum mendapatkan pengesahan dari DPR.

Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, praktik keperawatan adalah tindakan pemberian asuhan perawat profesional baik secara mandiri atau kolaborasi, yang disesuaikan dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan ilmu keperawatan (Zaidin Ali : 12). Perawat sering kali melakukan tindakan keperawatan yang seharusnya dilakukan oleh dokter. Perawat diibaratkan pembantu dokter yang harus melakukan tindakan sesuai dengan perintah dokter. Kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut belum maksimal , apalagi RUU tentang praktik keperawatan belum juga mendapat pengesahan dari DPR. Di instansi pemerintah, gaji perawat Rp 300.000,00 – Rp 1.500.000,00/bulan, jauh di bawah gaji dokter yang tiap bulannya dari Rp 1.500.000,00–Rp 3.000.000,00. Padahal kebutuhan sehari–hari perawat belum cukup terpenuhi dengan gaji tersebut. Jika praktik keperawatan mandiri tidak diperbolehkan, maka di masa akan datang nasib para perawat sangat memprihatinkan dan kurang terjamin kelayakan hidupnya.

Pada era sekarang ini, perawat kesehatan tidak identik lagi dengan pembantu dokter masa lalu. Eksistensi dan kredibilitasnya, diakui berbagai kalangan telah maju dan berkembang menjadi kelompok profesional sehingga bisa membuka praktik mandiri di rumah. Beberapa alasan mengapa keperawatan kesehatan di rumah merupakan alternatif yang banyak diminati masyarakat antara lain, lebih hemat biaya, pemberdayaan keluarga dalam asuhan klien lebih optimal, lingkungan memberikan efek yang teraspeutik dan memberikan kesempatan bagi kasus tertentu yang memerlukan rawat lama misalnya penyakit kronis.

Melihat kepada kenyataan – kenyataan yang tergambar di atas maka praktik keperawatan mandiri dapat dilakukan oleh perawat professional yang mempunyai keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan keterampilan interpersonal yang dapat memberikan pelayanan kesehatan utamanya kepada individu, masyarakat secara efektif dan terjangkau.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian praktik keperawatan mandiri ?
1.2.2 Apakah tujuan praktik keperawatan mandiri ?
1.2.3 Apa sajakah unsur – unsur praktik keperawatan mandiri ?
1.2.4 Bagaimanakah model keperawatan dalam Home Care ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan pengertian praktik keperawatan mandiri
1.3.2 Menjelaskan tujuan praktik keperawatan mandiri
1.3.3 Menjelaskan unsur - unsur praktik keperawatan mandiri
1.3.4 Menjelaskan model keperawatan dalam Home Care?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Praktik Keperawatan Mandiri

Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik yang mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS, 2002).

Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

2.2.Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri
Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarakat, perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.
Praktik keperawatan meliputi empat area yang terkait dengan kesehatan (kozier & Erb, 1999), yaitu :

1.Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
2.Pencegahan penyakit
3.Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)
4.Pemulihan kesehatan (Health Restoration), dan
5.Perawatan pasien menjelang ajal.

Peningkatan Kesehatan
Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan. Kesadaran diri klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan penggunaan semua sumber yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang di berikan oleh perawat. Peningkatan kesehatan membantu masyarakat dalam mengembangkan sumber untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus peningkatan kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan umum individu keluarga dan komunitas.

Kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kesehatan memerlukan :
1.Pendidikan untuk publik atau masyarakat dan individu
2.Perundang-undangan atau kebijakan yang mendukung
3.Hubungan interpersonal dengan klien secara langsung

Area keperawatan yang melibatkan perawat meliputi :
1.Mendorong dan mengadakan suatu latihan fisik secara periodik dan pemantauan terhadap proses penyakit (mis.hipertensi, diabetes militus dan kanker).
2.Memimpin pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pameran kesehatan dan program kesehatan mental.
3.Mendukung undang-undang yang ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan dan program perlindungan anak dan.
4.Peningkatan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja, dll.


Pencegahan Penyakit
Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko penyakit, untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk mempertahankan fungsi individu secara optimal.

Aktivitas atau kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain sebagai berikut :
1.Melakukan program pendidikan di rumah sakit, misalnya perawat ibu hamil, program melarang atau menghindari rokok, seminar ”mengurangi atau mencegah stres” dll.
2.Program umum dan dasar yang dapat meningkatkan gaya hidup sehat, misalnya melakukan senam aerobik, berenang atau program kebugaran.
3.Memberikan informasi tentang kesehatan, makanan yang sehat, olah raga dan lingkungan yang sehat melalui liflet, media massa atau media elektronik.
4.Menyediakan pelayanan keperawatan yang dapat menjamin kesehatan ibu hamil dan kelahiran bayinya dengan sehat.
5.Memantau tumbuh kembang bayi dan balita.
6.Memberikan imunisasi.
7.Melakukan pemeriksaan untuk medeteksi tekanan darah tinggi, kadar kolesterol, dan kanker.
8.Melakukan konseling mengenai pencegahan akibat kekurangan nutrisi dan penghentian rokok.

Peran perawat dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi hal-hal berikut :
1.Bertindak sebagai model peran dalam berperilaku serta bergaya hidup sehat.
2.Mengajarkan klien tentang strategi keperawatan dan usaha meningkatkan kesehatan, misalnya dengan cara perbaikann gizi, pengendalian stres, usaha untuk membina hubungan yang baik dengan sesama.
3.Memengaruhi klien untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
4.Menunjukkan klien cara pemecahan masalah yang tepat dan mengambil keputusan yang efektif.
5.Menguatkan perilaku peningkatan kesehatan pribadi dan keluarga.

Pemeliharaan Kesehatan (Health maintenance)
Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan yang membantu klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat melakukan aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status kesehatannya.
Tiga perkembangan pemeliharaan kesehatan :
1.Mencoba mengidentifikasi gejala penyakit kronis sebelum penderita mengidapnya, misalnya melakukan pemeriksaan fisik secara teratur, untuk usia di atas 35 tahun.
2.Meningkatkan ketertarikan terhadap masalah kesehatan sehubungan dengan perubahan struktur sosial masyarakat.
3.Ketertarikan pada faktor lingkungan sehubungan dengan penyebab penyakit karena stres.

Pemulihan kesehatan (Health Restoration)
Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan kesehatan setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.
Kegiatan yang dilakukan dalam perbaikan kesehatan meliputi hal-hal berikut :
1.Memberikan perawatan secara langsung pada individu yang sedang sakit, misalnya dengan memberikan perawatan fisik.
2.Memberikan perawatan pada pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental.
3.Melakukan diagnostik dan pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit.
4.Merencanakan pengajaran dan rehabilitasi pada pasien-pasien tertentu, misalnya pda pasien stroke, serangan jantung, artritis.


Perawatan Pasien Menjelang Ajal
Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa nyaman dan merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat dilakukan di rumah sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.
Lingkup praktik keperawatan pada dasarnya sangat berkaitan dengan kompetensi lulusan. Pendidikan profesional keperwatan yang diharapkan mampu berperan atau mengembangkan fungsi perawat profesional baik sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, pengelola, maupun peneliti.


2.3.Unsur-unsur Praktik Keperawatan Mandiri

Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu merespon terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-kebutuhan perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996), unsur-unsur inti keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :

1.Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya meliputi pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status kesehatan setiap saat bekerjasama dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Perawatan mengkaji kesehatan klien, mendeteksi penyakit yang akut atau kronis, melakukan penelitian dan menginterpretasikannya, memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang cocok, dan melakukan semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring. Perawat harus bisa memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus dirujuk ke profesi lain.

2.Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor kemampuan sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi pekerjaan-pekerjaan personil yang kurang terampil dan berkonsultasi dengan orang yang tepat. Karena ruang lingkup dan kompleksitas praktik keperawatan maka diperlukan keterampilan-keterampilan dan pemecahan masalah, berfikir kritis serta bertinfak etis dan legal terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.

3.Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting dalam praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana penyembuhan, memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan klien melalui asuhan keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin partisipasi penuh dari klien dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan treatmen dan asuhan yang diberikan. Perawat memberikan informasi penting mengenai proses penyakit, gejala-gejalanya, dan efek samping pengobatan.

4.Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat mengenai masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam keperawatan.

5.Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat berpartisipasi dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan, ini termasuk menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan staf, menghadapi birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik, dan mendapatkan asuhan spesialis untuk pasien. Perawat bekerja intersektoral dengan rumah sakit, puskesmas, institusi pelayanan kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan harus mempengaruhi strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional maupun internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada semua level.


2.4 Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)

Di beberapa negara maju, “home care” (perawatan di rumah), bukan merupakan konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Dari beberapa literatur pengertian “home care” adalah perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana pemulangan (discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun oleh PPNI dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan, disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).


Mekanisme Perawatan Kesehatan Di Rumah

Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperwatan di rumah dapat merupakan rujukan dari klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit, maupun puskesmas. Namun pasien atau klien dapat langsung menghubungi agensi pelayanan keperawatan di rumah atau praktik keperawatan perorangan untuk memperoleh pelayanan.

Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

1.Pasien atau klien pasca rawat inap atau rawat jalan harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk di rawat di rumah atau tidak.

2.Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat di rumah, maka di lakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan dirumah, kemudia bersama-sama klien dan keluarga, akan menentukan masalahnya, dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran, serta jangka waktu pelayanan.

3.Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksanaan keperawatan dirumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau pelaksana yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan dikoordinir dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh koordinator kasus.

4.Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan kesepakatan.
Persayaratan pasien atau klien yang menerima pelayanan perawatan dirumah :
1.Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.
2.Bersedia menandatangai persetujuan setelah diberikan informasi (Informed Consent).
3.Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan kesehatan dirumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan haknya dalam menerima pelayanan.


Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.
Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan perinatal, asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan keperawatan dewasa, dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan jiwa dilaksanakan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Keperawatan yang dapat dilakukan dengan :
1.Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung, melakukan observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah keperawatan, membuat perencanaan, dan melaksanakan tindakan keperawatan yang memerlukan ketrampilan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang menyimpang, baik tindakan-tindakan keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang (terapi medis), memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan evaluasi.

2.Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada klien, dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan tanggung gugat untuk perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa pelayanan keperawatan yang diberikan.

3.Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara berkelompok.

4.Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk tindak lanjut kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan sesuai dengan standart dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan pelayanan atau asuhan yang diterima oleh klien.

5.Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah dilakukan, mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di lakukan.


Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah
Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :

1.Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling banyak di laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat keparahan sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.

2.Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi dan prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap proses menua, serta tentang diit mereka.

3.Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis seperti diabet, stroke, hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan pada anak.


BAB III
PENUTUP

3.2.Simpulan

Praktik Keperawatan Mandiri merupakan salah satu peluang, tetapi harus dicermati dengan diundangkannya undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang praktik keperawatan, pelaksanaan praktik keperawatan harus melaksanakan praktiknya dengan bertanggung jawab dan berkualitas, sehingga dapat melindungi keselamatan klien, dan akan terhindar dari tuntutan.

Pelayanan Keperawatan di rumah (Home Health Care) merupakan bentuk praktik keperawatan mandiri yang dapat diberikan oleh seseorang perawat professional sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Praktik keperawatan mandiri ini merupakan sumber yang paling memungkinkan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena tenaga keperawatan adalah tenaga kesehatan professional yang paling banyak tersebar sampai ke pelosok-pelosok.


3.3.Saran

Setiap perawat yang akan melakukan praktik keperawatan mandiri, harus memenuhi kriteria dibawah ini :

1.Meningkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh ogranisasi profesi dan lembaga lain yang diakteditasi oleh organisasi profesi. (Sesuai RUU tentang praktik keperawatan pasal 26).

2.Mempunyai keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan ketrampilan interpersonal yang dapat memberikan kesehatan secara efektif dan terjangkau.

3.Dapat menjalankan perannya secara profesional dalam praktik keperawatan yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan, komunikasi, kolaborasi, pendidik, advokat, konselor, pembawa perubahan, pemimpin, manajemen dan peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. 2001. Dasar- Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta:Widya Medika.
Arwani, Suprianto. 2005. Manajemen Bangsal Keperawatan. Jakarta : EGC.
Cazalas, Mary W. 1983. Nursing and the law, ed 3rd, Aspek Publication, Maryland.
Gullack, Robert. 1983. What is a Nurse Means When she says lam profesional, RN : 29 september.
Hidayat, A. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keparawatan, Jakarta : Salemba.
KhonKe, Zimmern, Greenidge. 1974. Independent Nurse Practioner. Trained Press : Garden Grove.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC.
Priharjo, R. 1995. Praktik Keperawatan Profesional. Jakarata : EGC.
Potter dan Perry. 1989. Fundamentals If Nursing Concepts, Process and Practice. Edisi 2. st, Louis : Mosby.
Reilly, Dorothy dan Oberman, Marylyn. 2002. Pengajaran Klinik dalam Pendidikan Keperwatan. Jakarata : EGC.
Santoso Imam Nugroho. 1992. Development of Nursing Education on Diploma Program, paper presented in new Direction In Nursing Education, Symposium and Workshop, UGM. Makalah tidak di publikasikan.
Siswanto, 2009. Tren and Development of Nursing Service Demand in Globalization Era, Syimposium Nasional Keperawatan, UNAIR. Makalah tidak di publikasikan.
Yani, Akhir. 2008. Peran Ners dalam Kemandirian Praktik Keperawatan pada berbagai tatanan pelayanan keshatan, khususnya rumah sakit mengkontribusi pada pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau dan merata. fik-umsurabaya.co. id. 11 maret 2009.

Antoni, putra. 2008. Rancangan Undang-undang praktik keperawatan. Wordpress. Com. 17 marat 2009.
Helwiah. 2004. Home care sebagai bentuk praktik mandiri perwat di rumah sakit dalam jurnal keperawatan Universitas Padjadjaran.Bandung. PSIK-FK-Unpad Bandung. co.id. 11 maret 2009.

Peran Perawat di Bidang Politik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah tetapi profesi yang secara terus-menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya hidup berubah. Berbicara tentang keperawatan berarti berbicara tentang keperawatan pada satu waktu tertentu, dan dalam hal ini, bab ini akan membicarakan tentang “Peran Perawat di Bidang Politik”.
Satu trend dalam pendidikan keperawatan adalah berkembangnya jumlah peserta didik keperawatan yang menerima pendidikan keperawatan dasar di sekolah dan Universitas. Organisasi keperawatan professional terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan bagi perawat dalam mendapatkan dan memperluas peran baru.

Trend praktik keperawatan meliputi berkembangnya berbagai tempat praktik dimana perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus-menerus meningkatkan otonomi dan penghargaan sebagai anggota dari tim asuhan kesehatan. Peran perawat meningkat dengan meluasnya focus asuhan keperawatan.

Trend dalam keperawatan sebagai profesi meliputi perkembangan aspek-sapek dari keperawatan yang mengkarakteristikkan keperawatan sebagai profesi, meliputi pendidikan, teori, pelayanan, otonomi dan kode etik. Aktivitas dari organisasi professional keperawatan menggambarkan seluruh trend dalam pendidikan dan praktik keperawatan kontemporer.


1.2 Rumusan Masalah

1)Bagaimana kontroversi strategi pendidikan keperawatan di era globalisasi ini?
2)Bagaimana strategi pelayanan keperawatan di era globalisasi ini?
3)Bagaimana sistem penataan praktek keperawatan di Indonesia?
4)Bagaimana etika politik perawat dalam merawat pasien?
5)Bagaimana perbedaan model zaman sekarang dalam etika profesional?
6)Apa yang dilakukan seorang perawat di dunia politik?
7)Apa PPNI itu?


1.3 Tujuan

1)Untuk mengetahui politik keperawatan di era globalisasi
2) Agar perawat dapat mengaplikasikan etika politiknya dalam merawat pasien
3)Untuk mengetahui trend politik keperawatan saat ini
4)Untuk mengetahui tatanan pelayanan keperawatan profesional
5)Untuk mengetahui organisasi keperawatan di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

2.1Kontroversi Strategi Pendidikan Keperawatan di Era Globalisasi

Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan oleh masyarakat. Profesi keperawatan, profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalamsistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan social di Indonesia. Proses ini merupakan tantangan bagi perawat Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan tentunya memerlukan waktu yang lama.

Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkwalitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Motivasi dari pendirian institusi pendidikan keperawatanpun sangat bervariasi dari alasan “Bisnis” sampai dengan “Sosial”. Dan yang kemudian menjadi pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola institusi pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia dan tidak siap untuk bersaing.

Salah satu tolok ukur kwalitas dari perawat dipercaturan Internasional adalah kemampuanuntuk dapat lulus dalam Ujian Kompetensi Keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan CGFNS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Di Kuwait pernah terjadi fakta yang memalukan sekaligus menjatuhkan kredibilitas bangsa terutama system pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia memiliki permasalahan yang berkaitan dengan Higher Education bagi perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait.

Hal tersebut lebih disebabkan karena system pendidikan keperawatan kita yang sangat bervariasi. Efek yang paling buruk dari hal tersebut adalah tidak diakuinya perawat yang memiliki ijazah S1 Keperawatan (S.Kep) dan mereka hanya disamakan dengan D3 Keperawatan. Institusi pendidikan keperawatan harus dilakukan perubahan secara total antara lain:

a.Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, dari institusi pendidikan keperawatan.

b.Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa Inggris.

c.Menutup Institusi pendidikan keperawatan yang tidak berkualitas.

d.Institusi pendidikan keperawatan harus di pimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keperawatan.

e.Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di Institusi pendidikan keperawatan.

f.Semua dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus berbahasa Inggris secara aktif.

g.Memberantas segala jenis KKN di Institusi pendidikan dimulai dari perizinan penerimaan mahasiswa, proses pendidikan dan akreditasi serta proses kelulusan mahasiswa.


2.2 Strategi Pelayanan Keperawatan di Era Globalisasi

Praktek keperawatan sebagai tindakan professional harus didasarkan pada penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan di jadikan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostic, menyusun perencanaan, malaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Medis/Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi perawat di pandang rendah oleh profesi lain.

Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:

a.Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.

b.Tidak jelasnya aturan yang ada seperti belum di tetapkannya RUU Keperawatan serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Indonesia.

c.Minimnya penghargaan financial dari pihak-pihak terkait terhadap perawat.

d.Kurang optimalnya perannya organisasi profesi keperawatan.

e.Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perawat dan keperawatan yang lebih disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat berkaitan tentang profesi perawat dan keperawatan terutama di daerah yang masih menganggap bahwa perawat juga tidak berbeda denagn “dokter”.

Sementara itu, dunia Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit juga masih sangat jauh dari nyaman, rekan-rekan perawat bekerja selama 24 jam 1 hari dalam 2 atau 3 shift, sedangkan pendapatan mereka masih sangat jauh dari memadai. Sebagai perbandingan perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait mendapatkan gaji berkisar Rp.15 juta s/d Rp.24 juta sebulan, sedangkan rekan-rekan perawat yang bekerja di Indonesia jauh dibawah kebutuhan hidup mereka.

Beberapa contoh diatas lebih disebabkan karena selama ini kita dianggap kecil oleh profesi lain. Perawat mutlak sangat di perlukan dan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Kita harus sudah mulai berani untuk berbicara karena keadilan itu harus ditegakkan, yang harus segera dilaksanakan adalah:

a.Penentuan standarisasi gaji untuk perawat tentu setelah melalui uji kompetensi.

b.Menciptakan system sirkulasi dalam penempatan perawat Indonesia ke luar negeri sehingga pada jangka panjang akan terjadi peningkatan penghargaan dan kesetaraan terhadap profesi keperawatan di Indonesia.

c.Memberikan sanksi kepada Rumah Sakit atau Institusi pelayanan kesehatan yang tidak memberi gaji sesuai dengan standard.


2.3 Penataan Praktek Keperawatan

Dalam suatu penataan praktek keperawatan perlu adanya undang-undang, maka semua itu harus sesuai dengan standar kompetensi profesi, salah satunya kompetensi perawat ( SKP ) yang sudah diakui secara nasional. Penetapan SKP telah Konvensi Nasional antara BNSP, PPNI, dan Depkes pada tanggal 1-2 Juni 2006 di Gedung Depkes JL. HR Rasuna Said,Kuningan Jakarta Selatan. SKP Nasional Indonesia mengacu pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional ( ICN, 2003 ) yang menekankan pada perawat generalis yang bekerka dengan klie individu, keluarga dan komunitas dalam tatanan asuha keperawatan di rumah sakit dan komunitas serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan social lainnya. Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjajedi 3 judulkompetensi utama, yaitu Praktek keperawatan profesional, Pemberian asuhan keperawatan dan menejemen keperawatan Pengembangan professional.

Peran profesional perawat tidak akan bisa di capai, kalau model praktik keperawatan di pelayanan belum ditata secara professional. Model praktik keperawatan professional yang dilaksanaka oleh perawat di tatanan pelayanan keperawatan masih mejadi suatu abstraksi. Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus digunakan sebagai tuntutan bagi organisasi pelayanan kesehatansistem pemberian pelayanan kesehatan ke system desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.

Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan Tinggi Keperawatan (D3 Keperawatan) dan berlakunya UU No.23 Tahun 1992,dan PERMENKES No.1239/2000; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan professional. Ada 4 model praktik yang diharapkan ada yaitu: model praktik di Rumah Sakit, rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.


2.4 Etika Politik dalam Merawat Pasien

Etika adalah mengenai pengawasan bagi orang lain, kepedulian terhadap perasaan, banyak sumber praktis. “Merawat seseorang berarti bertindak untuk kebaikan mereka, membantu mengembalikan otonomi mereka, membantu mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Mencapai tujuan hidup mereka dan pemenuhan kebutuhan”.

Dalam pengalaman menderita mungkin tidak hanya membuat kita lebih simpati, tapi mungkin juga membantu kita untuk lebih empati terhadap pasien kita. Simpati adalah perasaan yang timbul secara spontan yang kita miliki atau tidak dimiliki. Empati adalah kemampuan untuk meletakkan diri kita dalam sesuatu orang lain, dalam suatu seni yang dapat dipelajari, latihan imajinasi yang dapat dilatih. Perasaan ini dapat menjadi motivator yang kuat, yang juga dapat diperoleh dalam melakukan tanggung
jawab professional kita.

Jika kita memilih menjadi perawat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau hanya sebagai aututerapi tanpa disadari, untuk menghadapimasalah dan kecemasan sendiri, pasien akan menderita karena pekerjaan kita yang akan menjadi catatan bagi mereka. (Eadie 1975, Shimpson et all 1983).

Merawat bisa menjadi merusak orang lain jika kita tidak mengerti dinamika aslinya, yaitu seperti dorongan psikologis yang kompleks yang muncul dalam operasi ketika kita dalam posisi tangguh sebagai penolong terhadap pasien yang relative tidak mandiri dan lemah. Inilah, mengapa psikiater dalam pelatihan dan perawat psikiatri didukung untuk mengalami psikoanalisis pribadi atau terlibat dalam terapi kelompok, sebagai proses untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam dan sering tersembunyi dengan maksud lain.

Ketika pengawasan dan perhatian dari perawat yang baik dapat melakukan kekuasaannya dengan baik, over protektif, menguasai atau mengganggu dan pengawasan seperti pada bayi, seperti pengasuhan yang jelek, juga bias menjadi sangat merusak, ini dapat dikatakan bahwa “kebaikan terbesar kita juga merupakan sumber potensial kelemahan dan kejahatan kita”.

Beberapa praktik dan sikap perawat dapat membawa mereka kepada konfliklangsung dengan tim kesehatan yang terkait dalam merehabilitasi kesehatan pasien,dengan fisioterapis dan ahli terapi yang menjabat. Konflik disini bukan hanya dalam persaingan profesionalitas atau ketidak jelasan batasan kerja, tapi juga perbedaan dalam interpretasi tentang perawatan dandalam praktik perawatan.

Dari suatu pandangan yang lazim, perawat juga merupakan pegawai yang melakukan pekerjaan tertentu seefisien dan seefektif mungkin. Hasilnya, pembatasan-pembatasan layak di pertimbangkandan batasan praktik dapat dilakukan pada waktu yang tersedia untuk hubungan perawatan dan dan perhatian terhadap kebutuhan tertentu pasien.
Pengalaman perawat menghadapi kenyataan hubungan kekuasaan dalam bekerja dengan pasien dan dokter,berarti bahwa mereka mengetahui bahwa etika harus dilakukan dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dalam hubungan langsung antar pribadi. Bagaimanapun, tantangan adalah untuk memahami sifat alami hubungan kekuasaan dan etika pembagian kekuasaan, dalam mengajar, dalam management, dalam pendidikan kesehatan dan riset, dalam mempengaruhi sumber daya, dan dalam politik kesehatan local dan nasional.

Perawat tidak hanya belajar merawat pasien, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pasien secara umum. Ini berarti memperhatikan standard dan management pelayanan, kemampuan staff, efisiensi dan efektifitas prosedur yang digunakan, peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan kesehatan masyarakat. Jika kepedulian terhadap kesehatan dipahami dari arti perspektif luas, perawat cepat mengetahui bahwa politik dan etika perawatan berlanjut satu sama lain, pembagian dan kepedulian, menghormati orang dan keadilan, kaitan kekuasaan dan nilai-nilai adalah saling berhubungan, dan memaksakan tanggung jawab politis pada mereka. Pada akhirnya perjuangan menjadi lebih baik dan kondisi yang lebih patut untuk pasien dan perawat serta petugas kesehatan lain yang tidak dapat dipisahkan.

Bukan tidak mungkin menggabungkan kualitas personal yang sensitive dan peduli dengan yang kompeten dan efisiensi dalam management, atau empati kepada orang lain dengan orang yang keras dalam susunan staff, atau perundingan bersama.


2.5 Perbedaan Model Zaman Sekarang untuk Etika Profesional
Adalah sulit untuk menyatukan kembali etika personal yang peduli dengan tipe etika yang diperlukan untuk management sistem pemberian pelayanan kesehatan modern yang kompleks. Hal ini muncul karena tekanan antara perbedaan jenis kompetisi etik dalam kehidupan professional, perbedaan antara: etika keperawatan, etika pelayanan, etika pelayanan public dan etika bisnis.


2.6 Saatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik

Akhir – akhir ini banyak masalah yang melanda profesi keperawatan ini berkaitan dengan tidak adanya seseorang perawat yang menjadi pemegang kebijakan baik di eksekutif maupun legislative.disamping itu juga disinggung mengenai undang – undang keperawatan yang sampai kini belum juga terselesaikan karena tidak adanya keterwakilan seorang perawat dalam posisi tersebut.

Arti politik secara umum adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Disebutkan juga bahwa politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bias dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk bias teraktualisasikan, saat tiap individu lain sesuai dengan normadan hukum yang berlaku.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan seorang perawat dalam berperan secara aktif maupun pasif dalam dunia politik. Mulai dari kemampuan yang harus dimiliki dalam bidang politik hingga talenta yang harus dimiliki mengenai “Sense of Politic”. Dalam wilkipedia Indonesia disebutkan bahwa seseorang dapat mengikuti dan berhak menjadi insane politik dengan mengikuti suatu partai politik , mengikuti ormas atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Maka dari hal tersebut seseorang berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil sebuah kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari hal tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal terkait dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.

Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan adalah bahwasanya dunia politik bukanlah dunia yang asing, namun terjun dan berjuang bersamanya mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini ditunjukkan belum adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan Indonesia.

Tidak dipungkiri lagi bahwa seorang perawat juga rakyat Indonesia yang juga memiliki hak pilih dan tentunya telah melakukan haknya untuk memilih wakil-wakilnya sebagai anggota legislative namun seakan tidak ada satu pun suara yang menyuarakan hati nurani profesi keperawatan. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena profesi kita pun membutuhkan penyampaian aspirasi yang patut untuk didengar dan diselesaikannya permasalahan yang ada, yang tentunya akan membawa kesejahteraan rakyat seluruh profesi keperawatan. Sulitnya menjadikan RUU Keperawatan seringkali dikaitkan dengan tidak adanya keterwakilan seorang perawat di badan legislative sana.
Menjadi bagian dari dunia perpolitikan di Indonesia, diharapkan seorang perawat mampu mewakili banyaknya aspirasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada di profesi keperawatan salah satunya seperti yang disebutkan diatas yaitu mengenai bagaimana meregulasi pendidikan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan tercapainya kualitas perawat bias dipertanggung jawabkan.

Regulasi pendidikan akan menjadikan tidak bermunculnya institusi pendidikan keperawatan yang hanya mencari untung, politik uang, dan institusi yang tidak melakukan penjaminan mutu akan output perawat yang di luluskan setiap periodenya. Dengan regulasi pendidikan keperawatan, semua menjadi terstandarisasi, profesi keperawatan yang mempunyai nilai tawar, nilai jual, dan menjadi profesi yang dipertimbangkan.

Regulasi kewenangan perawat di lahan kliniktidak kalah pentingnya dengan regulasi pendidikan, dimana regulasi pendidikan merupakan bagaimana kita melakukan persiapan yang matang sebelum membuat dan memulai (perencanaan), dimana kita melakukan pembangunan fondasi yang kokoh dan system yang mensupport akan terbentuknya generasi perawat-perawat yang siap tempur. Regulasi kewenangan perawat dilahan klinik akan menjadiakan profesi keperawatan semakin mantap dalam langkahnya. Kewenangan perawat yang mandiri, terstruktur dan ranah yang jelas akan menjadikan perawat semakin professional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam regulasi kewenangan ini di harapkan tidak terjadi adanya overlap dan salah satu yang paling penting adalah menghindari terjadinya malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi.

Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang perawat sehingga mampu terjun ke dunia politik. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah mendukung salah satu partai politik. Partai politik ini akan menjadi motor penggerak pembawa di kancah perpolitikan Indonesia. Banyak partai yang menawarkan posisi legislative, ada partai yang melakukan pengkaderan dari awal yang mampu menyiapkan calon-calon legislative dari embrio yang akan diberikan suntikan ideology dari partai tersebut, ada juga partai yang memberikan kesempatan kepada siapa saja yang siap untuk berjuang bersama-sama mendukung partainya dan menjadi calon legislative.


2.7 Organisasi Keperawatan

Partai Perawat Nasional Indonesia (PPNI) adalah organisasi keperawatan tingkat nasional yang merupakan wadah bagi semua perawat Indonesia, yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1974.

Menurut catatan yang ada sebelum PPNI, telah terdapat beberapa macam organisasi keperawatan. PPNI pada awalnya terbentuk dari penggabungan beberapa organisasi keperawatan, seperti:
IPI (Ikatan Perawat Indonesia),
PPI (Persatuan Perawat Indonesia),
IGPI (Ikatan Guru Perawat Indonesia),
IPWI (Ikatan Perawat Wanita Indonesia).

Setiap orang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang syah dapat mendaftarkan diri sebagai anggota PPNI dan semua mahasiswa keperawatan yang sedang belajar dapat disebut calon anggota.

PPNI setiap 4 tahun sekali menyelenggarakan musyawarah nasional. Dalam musyawarah ini selain pengurus pusat juga hadir para pejabat dan pengurus cabang. Berbagai masalah keperawatan dibahas dalam MUNAS tersebut yang kemudian memberikan hasil yang berupa rekomendasi atau keputusan organisasi.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan profesi, maka organisasi profesi keperawatan harus melakukan 5 fungsi, yaitu:

1.Definisi dan pengaturan professional melalui penyusunan dan penentuan standar pendidikan dan praktik bagi perawat umum dan spesialis. Pengaturan dapat ditempuh melalui pemberian izin praktik (lisensi), sertifikat, dan akreditasi. Pengaturan juga dapat dilakukan melalui adopsi kode etik dan norma perilaku (Styles, 1983).

2.Pengembangan dasar pengetahuan untuk praktik dalam komponen luas dan sempit. Sumbangan utama untuk pengembangan ilmu keperawatan telah diberikan oleh berbagai ahli teori. Tujuan utama teori keperawatan adalah netralisasi ilmu keperawatan. Tantangan bagi para perawat di masa depan adalah menggerakkan pertanyaan dan memformulasikan teori dari teori yang telah dipublikasikan ini dan kemudian melakukan uji hipotesa melalui penelitian keperawatan. Karena hanya penelitian yang dapat menentukan manfaat suatu teori, penelitian memberikan sumbangan utama bagi pengembangan pengetahuan keperawatan.

3.Transmisi nilai-nilai, norma, pengetahuan, dan keterampilan kepada anggota profesi untuk diterapkan dalam praktik. Fungsi ini dilakukan melalui pendidikan para perawat dan berbagai proses sosialisasi.

4.Komunikasi dan advokasi tentang nilai-nilai dan sumbangsih bidang garap kepada masyarakat dan konstitusi. Fungsi ini menuntut organisasi perawat untuk berbicara pada perawat dari suatu posisi kesepakatan luas. Penting bagi perawat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan UU dan kebijakan pemerintah.

5.Memperhatikan kesejahteraan umum dan social anggota. Fungsi ini dilakukan oleh organisasi perawat dimana organisasi perawat ini memberikan dukungan moral dan social bagi anggota untuk menjalankan peranannya sebagai tenaga professional dan mengatasi masalah professional anggotanya.


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Pada akhir makalah ini kami ingin lebih menegaskan bahwasannya politik harusnya disikapi sacara serius oleh semua pihak agar perawat Indonesia ke depan lebih siap umtuk berkompetisi di era globalisasi. Semua pihak yang terkait harus segera bersinergi dalam rangka menciptakan perbaikan dan perubahan untuk menciptakan sistem yang lebih baik, pihak – pihak tersebut antara lain adalah:
Pemerintah
Swasta
Organisasi profesi ( PPNI )
Lembaga pendidikan
Perawat dan calon perawat

Ada beberapa hal yang menurut kami perlu segera dilakukan agar perbaikan keperawatan
di Indonesia dapat segera tercapai, antara lain:
Pengesahan UU Pratek Keperawatan
Pembentukan Nursing Council (Nursing Board)
Reformasi system pendidikan keperawatan Indonesia
Peningkatan fungsi organisasi profesi


3.2 Saran

Fakta yang ada pada masyarakat, bahwa lulusan perawat masih belum di akui sebagai sosok profesional yang akan mampu memberikan kontribusi yang hebat dalam system pelayanan. Pandangan tersebut harus kita terima dengan lapang dada dan sekaligus sebagai pemicu adrenalin kita untuk membuktikan jati diri kita, bahwa seorang perawat adalah profesional dengan segala atribut yang menyertainya. Hal yang harus dan terus kita lakukan adalah memperbaiki citra perawat dengan menunjukkan jati diri perawat dengan KOREK API (Komunikasi, Organisatoris, Responsif and Responsible, Efisiensi dan Efectif, Komitmen serta tunjukkan API : Aktualisasi, Produktif,dan Inovatif).


DAFTAR PUSTAKA

M. Muhammad, Siswanto. 2009. Trend dan Perkenbangan Kebutuhan Pelayanan Keperawatan dalam Persaingan Global. Dalam Simposium Nasional Keperawatan Universitas Airlangga
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2007. Manajement Keperawatan. Konsep dan Praktik. Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Reformasi Keperawatan Indonesia. Website URL: http: //www.inna-ppni.or.id
Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan Hukum. Jakarta: EGC
Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global. Website URL: http: // io.ppi-jepang.org
Lowenberg & Dolgoff. 1988. Ethical Decisions for Social Work Practice. F.E. Peacock Publishers, Inc
Lancaster, J. 1999. Nursing Issues. In Leading and Managing Change. St. Louis: Mosby Company
Lindberg, JB., Hunter, ML., Kruszewski, AZ. 1990. Introduction to Nursing: Concept, Issues & Opportunities. Philadelphia: JB Lippincott
Bartels, JE. 2005. Educating Nurses for the 21st Century. Nursing and Health Sciences
Burns & Grove. 1999. The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B. Saunders Co
Buchan, J. & Calman, L. 2007. Summary of The Global Shortage of Registered Nurses: An Overview of Issues and Action. International Council of Nurses. Dalam www.icn.ch
Chitty, K.K. 1997. Proffesional Nursing. Concepts & Challenges . 2ed. Philadelphia: W.B. Saunder Company
Magnusdottir H. 2005. Overcoming Strangeness and Communication Barriers: A Phenomenological Study of Becoming a Foreign Nurse. International Nursing Review
http://pioners07.blogspot.com/2009/02/saatnya-perawat-terjun-ke-dunia-politik.html
Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 2 edition